BUDAYA
Definisi Budaya
Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni. Bahasa, sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis. Ketika seseorang berusaha berkomunikasi dengan orang-orang yang berbada budaya dan menyesuaikan perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa budaya itu dipelajari.
Budaya
adalah suatu pola hidup menyeluruh. budaya bersifat kompleks, abstrak, dan
luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif. Unsur-unsur
sosio-budaya ini tersebar dan meliputi banyak kegiatan sosial manusia.
Beberapa
alasan mengapa orang mengalami kesulitan ketika berkomunikasi dengan orang dari
budaya lain terlihat dalam definisi budaya: Budaya adalah suatu perangkat rumit
nilai-nilai yang dipolarisasikan oleh suatu citra yang mengandung pandangan
atas keistimewaannya sendiri.”Citra yang memaksa” itu mengambil bentuk-bentuk
berbeda dalam berbagai budaya seperti “individualisme kasar” di Amerika,
“keselarasan individu dengan alam” d Jepang dan “kepatuhan kolektif” di Cina.
Citra budaya yang brsifat memaksa tersebut membekali anggota-anggotanya dengan
pedoman mengenai perilaku yang layak dan menetapkan dunia makna dan nilai logis
yang dapat dipinjam anggota-anggotanya yang paling bersahaja untuk memperoleh
rasa bermartabat dan pertalian dengan hidup mereka.
Dengan
demikian, budayalah yang menyediakan suatu kerangka yang koheren untuk
mengorganisasikan aktivitas seseorang dan memungkinkannya meramalkan perilaku
orang lain.
Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Melville J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski mengemukakan bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Istilah untuk pendapat itu adalah Cultural-Determinism.
Herskovits
memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu generasi ke
generasi yang lain, yang kemudian disebut sebagai superorganic. Menurut Andreas
Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian nilai sosial,norma sosial,
ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius, dan
lain-lain, tambahan lagi segala pernyataan intelektual dan artistik yang
menjadi ciri khas suatu masyarakat.
Menurut
Edward Burnett Tylor, kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di
dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat
istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota
masyarakat.
Menurut
Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi, kebudayaan adalah sarana hasil karya,
rasa, dan cipta masyarakat.
Dari
berbagai definisi tersebut, dapat diperoleh pengertian mengenai kebudayaan
adalah sesuatu yang akan memengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem
ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan
sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedangkan perwujudan kebudayaan
adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya,
berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola
perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan
lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan
kehidupan bermasyarakat.
Saat ini, kebanyakan orang memahami gagasan “budaya” yang dikembangkan di Eropa pada abad ke-18 dan awal abad ke-19. Gagasan tentang “budaya” ini merefleksikan adanya ketidakseimbangan antara kekuatan Eropa dan kekuatan daerah-daerah yang dijajahnya. Mereka menganggap ‘kebudayaan’ sebagai “peradaban” sebagai lawan kata dari “alam”. Menurut cara pikir ini, kebudayaan satu dengan kebudayaan lain dapat diperbandingkan; salah satu kebudayaan pasti lebih tinggi dari kebudayaan lainnya.
Pada
prakteknya, kata kebudayaan merujuk pada benda-benda dan aktivitas yang “elit”
seperti misalnya memakai baju yang berkelas, fine art, atau mendengarkan musik
klasik, sementara kata berkebudayaan digunakan untuk menggambarkan orang yang
mengetahui, dan mengambil bagian, dari aktivitas-aktivitas di atas. Sebagai
contoh, jika seseorang berpendendapat bahwa musik klasik adalah musik yang
“berkelas”, elit, dan bercita rasa seni, sementara musik tradisional dianggap
sebagai musik yang kampungan dan ketinggalan zaman, maka timbul anggapan bahwa
ia adalah orang yang sudah “berkebudayaan”.
Orang
yang menggunakan kata “kebudayaan” dengan cara ini tidak percaya ada kebudayaan
lain yang eksis; mereka percaya bahwa kebudayaan hanya ada satu dan menjadi
tolak ukur norma dan nilai di seluruh dunia. Menurut cara pandang ini,
seseorang yang memiliki kebiasaan yang berbeda dengan mereka yang
“berkebudayaan” disebut sebagai orang yang “tidak berkebudayaan”; bukan sebagai
orang “dari kebudayaan yang lain.” Orang yang “tidak berkebudayaan” dikatakan
lebih “alam,” dan para pengamat seringkali mempertahankan elemen dari
kebudayaan tingkat tinggi (high culture) untuk menekan pemikiran “manusia
alami” (human nature)
Sejak
abad ke-18, beberapa kritik sosial telah menerima adanya perbedaan antara
berkebudayaan dan tidak berkebudayaan, tetapi perbandingan itu -berkebudayaan
dan tidak berkebudayaan- dapat menekan interpretasi perbaikan dan interpretasi
pengalaman sebagai perkembangan yang merusak dan “tidak alami” yang mengaburkan
dan menyimpangkan sifat dasar manusia. Dalam hal ini, musik tradisional (yang
diciptakan oleh masyarakat kelas pekerja) dianggap mengekspresikan “jalan hidup
yang alami” (natural way of life), dan musik klasik sebagai suatu kemunduran
dan kemerosotan.
Saat
ini kebanyak ilmuwan sosial menolak untuk memperbandingkan antara kebudayaan
dengan alam dan konsep monadik yang pernah berlaku. Mereka menganggap bahwa
kebudayaan yang sebelumnya dianggap “tidak elit” dan “kebudayaan elit” adalah sama
– masing-masing masyarakat memiliki kebudayaan yang tidak dapat
diperbandingkan. Pengamat sosial membedakan beberapa kebudayaan sebagai kultur
populer (popular culture) atau pop kultur, yang berarti barang atau aktivitas
yang diproduksi dan dikonsumsi oleh banyak orang.
Selama Era Romantis, para cendekiawan di Jerman, khususnya mereka yang peduli terhadap gerakan nasionalisme – seperti misalnya perjuangan nasionalis untuk menyatukan Jerman, dan perjuangan nasionalis dari etnis minoritas melawan Kekaisaran Austria-Hongaria – mengembangkan sebuah gagasan kebudayaan dalam “sudut pandang umum”. Pemikiran ini menganggap suatu budaya dengan budaya lainnya memiliki perbedaan dan kekhasan masing-masing. Karenanya, budaya tidak dapat diperbandingkan. Meskipun begitu, gagasan ini masih mengakui adanya pemisahan antara “berkebudayaan” dengan “tidak berkebudayaan” atau kebudayaan “primitif.”
Pada
akhir abad ke-19, para ahli antropologi telah memakai kata kebudayaan dengan definisi
yang lebih luas. Bertolak dari teori evolusi, mereka mengasumsikan bahwa setiap
manusia tumbuh dan berevolusi bersama, dan dari evolusi itulah tercipta
kebudayaan.
Pada
tahun 50-an, subkebudayaan – kelompok dengan perilaku yang sedikit berbeda dari
kebudayaan induknya – mulai dijadikan subyek penelitian oleh para ahli
sosiologi. Pada abad ini pula, terjadi popularisasi ide kebudayaan perusahaan –
perbedaan dan bakat dalam konteks pekerja organisasi atau tempat bekerja.
Teori-teori yang ada saat ini menganggap bahwa (suatu) kebudayaan adalah sebuah produk dari stabilisasi yang melekat dalam tekanan evolusi menuju kebersamaan dan kesadaran bersama dalam suatu masyarakat, atau biasa disebut dengan tribalisme.
Penetrasi kebudayaan dapat terjadi dengan dua cara:
a. Penetrasi
damai (penetration pasifique)
Masuknya sebuah kebudayaan dengan jalan damai. Misalnya, masuknya pengaruh kebudayaan Hindu dan Islam ke Indonesia. Penerimaan kedua macam kebudayaan tersebut tidak mengakibatkan konflik, tetapi memperkaya khasanah budaya masyarakat setempat. Pengaruh kedua kebudayaan ini pun tidak mengakibatkan hilangnya unsur-unsur asli budaya masyarakat.
Penyebaran
kebudayaan secara damai akan menghasilkan Akulturasi, Asimilasi, atau Sintesis.
Akulturasi adalah bersatunya dua kebudayaan sehingga membentuk kebudayaan baru
tanpa menghilangkan unsur kebudayaan asli. Contohnya, bentuk bangunan Candi
Borobudur yang merupakan perpaduan antara kebudayaan asli Indonesia dan
kebudayaan India. Asimilasi adalah bercampurnya dua kebudayaan sehingga
membentuk kebudayaan baru. Sedangkan Sintesis adalah bercampurnya dua
kebudayaan yang berakibat pada terbentuknya sebuah kebudayaan baru yang sangat
berbeda dengan kebudayaan asli.
Masuknya sebuah kebudayaan dengan cara memaksa dan merusak. Contohnya, masuknya kebudayaan Barat ke Indonesia pada zaman penjajahan disertai dengan kekerasan sehingga menimbulkan goncangan-goncangan yang merusak keseimbangan dalam masyarakat. Wujud budaya dunia barat antara lain adalah budaya dari Belanda yang menjajah selama 350 tahun lamanya. Budaya warisan Belanda masih melekat di Indonesia antara lain pada sistem pemerintahan Indonesia.
Wujud dan komponen
Wujud
Menurut J.J.
Hoenigman, wujud kebudayaan dibedakan menjadi tiga: gagasan, aktivitas, dan
artefak.
a. Gagasan
(Wujud ideal)
Wujud ideal kebudayaan adalah kebudayaan yang berbentuk kumpulan ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dan sebagainya yang sifatnya abstrak; tidak dapat diraba atau disentuh. Wujud kebudayaan ini terletak dalam kepala-kepala atau di alam pemikiran warga masyarakat. Jika masyarakat tersebut menyatakan gagasan mereka itu dalam bentuk tulisan, maka lokasi dari kebudayaan ideal itu berada dalam karangan dan buku-buku hasil karya para penulis warga masyarakat tersebut.
b. Aktivitas
(tindakan)
Aktivitas adalah wujud kebudayaan sebagai suatu tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat itu. Wujud ini sering pula disebut dengan sistem sosial. Sistem sosial ini terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia yang saling berinteraksi, mengadakan kontak, serta bergaul denganmanusia lainnya menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata kelakuan. Sifatnyakonkret, terjadi dalam kehidupan sehari-hari, dan dapat diamati dan didokumentasikan.
c. Artefak
(karya)
Artefak adalah wujud kebudayaan fisik yang berupa hasil dari aktivitas, perbuatan, dan karya semua manusia dalam masyarakat berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat, dan didokumentasikan. Sifatnya paling konkret di antara ketiga wujud kebudayaan. Dalam kenyataan kehidupan bermasyarakat, antara wujud kebudayaan yang satu tidak bisa dipisahkan dari wujud kebudayaan yang lain. Sebagai contoh: wujud kebudayaan ideal mengatur dan memberi arah kepada tindakan (aktivitas) dan karya (artefak) manusia.
d. Komponen
Berdasarkan
wujudnya tersebut, Budaya memiliki beberapa elemen atau komponen, menurut ahli
antropologi Cateora, yaitu :
·
Kebudayaan material
Kebudayaan material mengacu pada semua ciptaan masyarakat yang nyata, konkret. Termasuk dalam kebudayaan material ini adalah temuan-temuan yang dihasilkan dari suatu penggalian arkeologi: mangkuk tanah liat, perhisalan, senjata, dan seterusnya. Kebudayaan material juga mencakup barang-barang, seperti televisi, pesawat terbang, stadion olahraga, pakaian, gedung pencakar langit, dan mesin cuci.
·
Kebudayaan nonmaterial
Kebudayaan nonmaterial adalah ciptaan-ciptaan abstrak yang diwariskan dari generasi ke generasi, misalnya berupa dongeng, cerita rakyat, dan lagu atau tarian tradisional.
Lembaga social
Lembaga social dan pendidikan memberikan peran yang banyak dalam kontek berhubungan dan berkomunikasi di alam masyarakat. Sistem social yang terbantuk dalam suatu Negara akan menjadi dasar dan konsep yang berlaku pada tatanan social masyarakat. Contoh Di Indonesia pada kota dan desa dibeberapa wilayah, wanita tidak perlu sekolah yang tinggi apalagi bekerja pada satu instansi atau perusahaan. Tetapi di kota – kota besar hal tersebut terbalik, wajar seorang wanita memilik karier
Sistem kepercayaan
Bagaimana masyarakat mengembangkan dan membangun system kepercayaan atau keyakinan terhadap sesuatu, hal ini akan mempengaruhi system penilaian yang ada dalam masyarakat. Sistem keyakinan ini akan mempengaruhi dalam kebiasaan, bagaimana memandang hidup dan kehidupan, cara mereka berkonsumsi, sampai dengan cara bagaimana berkomunikasi.
Estetika
Berhubungan dengan seni dan kesenian, music, cerita, dongeng, hikayat, drama dan tari –tarian, yang berlaku dan berkembang dalam masyarakat. Seperti di Indonesia setiap masyarakatnya memiliki nilai estetika sendiri. Nilai estetika ini perlu dipahami dalam segala peran, agar pesan yang akan kita sampaikan dapat mencapai tujuan dan efektif. Misalkan di beberapa wilayah dan bersifat kedaerah, setiap akan membangu bagunan jenis apa saj harus meletakan janur kuning dan buah – buahan, sebagai symbol yang arti disetiap derah berbeda. Tetapi di kota besar seperti Jakarta jarang mungkin tidak terlihat masyarakatnya menggunakan cara tersebut.
Bahasa
Bahasa merupakan alat pengatar dalam berkomunikasi, bahasa untuk setiap walayah, bagian dan Negara memiliki perbedaan yang sangat komplek. Dalam ilmu komunikasi bahasa merupakan komponen komunikasi yang sulit dipahami. Bahasa memiliki sidat unik dan komplek, yang hanya dapat dimengerti oleh pengguna bahasa tersebu. Jadi keunikan dan kekomplekan bahasa ini harus dipelajari dan dipahami agar komunikasi lebih baik dan efektif dengan memperoleh nilai empati dan simpati dari orang lain.
Perubahan sosial budaya
Perubahan
sosial budaya dapat terjadi bila sebuah kebudayaan melakukan kontak dengan
kebudayaan asing.
Perubahan
sosial budaya adalah sebuah gejala berubahnya struktur sosial dan pola budaya
dalam suatu masyarakat.
Perubahan
sosial budaya merupakan gejala umum yang terjadi sepanjang masa dalam setiap
masyarakat. Perubahan itu terjadi sesuai dengan hakikat dan sifat dasar manusia
yang selalu ingin mengadakan perubahan. Hirschman mengatakan bahwa
kebosanan manusia sebenarnya merupakan penyebab dari perubahan.
Ada
tiga faktor yang dapat memengaruhi perubahan sosial:
a. tekanan
kerja dalam masyarakat
b. keefektifan
komunikasi
c. perubahan
lingkungan alam.
Perubahan
budaya juga dapat timbul akibat timbulnya perubahan lingkungan masyarakat,
penemuan baru, dan kontak dengan kebudayaan lain. Sebagai contoh, berakhirnya zaman esberujung
pada ditemukannya sistem pertanian, dan kemudian memancing inovasi-inovasi baru lainnya
dalam kebudayaan.
Budaya atau kebudayaan berasal
dari bahasaSansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk
jamak dari buddhi, diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi
dan akal manusia.
Menurut Andreas
Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian, nilai, norma,
ilmupengetahuan,keseluruhan struktur sosial, religius, serta segala
pernyataan intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas suatu masyarakat.
Menurut Edward
B. Tylor, kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya
terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan
kemampuan-kemampuan lain.
Menurut Selo
Soemardjan dan Soelaiman Soemardi , Kebudayaan adalah
sarana hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat
Dari
berbagai definisi tersebut, dapat diperoleh kesimpulan :
Kebudayaan akan mempengaruhi
tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan yang
terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan
itu bersifatabstrak. Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah
benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya,
berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnyapola-pola
perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan
lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan
kehidupan bermasyarakat.
Contoh Budaya Bali
Desa
merupakan jenis pemukiman utama di Bali. Setiap Desa dihuni oleh 200 sampai
beberapa ribu orang. Di sekitar lapangan tengah desa terdapat kuren,
kumpulan rumah keluarga yang dibatasi oleh dinding-dinding tinggi. Setiap kuren dihuni
beberapa keluarga yang bersembahyang, memasak, dan makan bersama. Lapangan
tengah desa merupakan tempat berkumpul penduduk desa yang menggunakannya untuk
kegiatan budaya, pertemuan, sosialisasi, dan sebagainya.
Masyarakat
Bali dikelompokkan dalam dua macam, Yang pertama—wangsa—didasarkan atas
keturunan, yakni setiap orang dilahirkan sebagai kaum ningrat atau sudra (juga
dikenal sebagaijaba, yang secara harfiah berarti orang luas istana). Kaum
ningrat, berikutnya dibagi menjadi tiga kasta, yaitu pendeta-pendeta (brahmana)
bangsawan-bangsawan yang berkuasa (satriya), dan prajurit-prajurit (wesya).
Sebagian besar penduduk bali adalah sudra.
Penanda
sosial kedua didasarkan atas tempat tinggal seseorang dengan sistem banjar yang
merupakan tulang punggung tatanan ini. Di setiap desa mungkin terdapat lebih
dari satu banjar,setiap banjar meliputi anggota sekitar
lingkungan desa. Sistem ini berpusat pada pria dan setiap pria Bali diwajibkan
menjadi anggota suatu banjar,sedang wanitanya dilarang. Di dalam setiap banjar,seorang
anggota dipilih sebagai ketua dan mendapat setidaknya beberapa hak istimewa
seperti memperoleh tambahan nasi sewaktu perayaan tertentu. Sebenarnya, banjar berperan
seperti koperasi, lengkap dengan dana bersama, dan bahkan kepemilikan sawah
bersama.
Meskipun
bergelut dengan hantaman globalisasi dan derasnya informasi, kebudayaan khas
yang telah lama mengakar pada masarakat Bali tetap kokoh sebagai ciri khas
mereka. Mungkin perubahan terjadi, tapi mereka sepertinya bisa menyelaraskannya
kembali, beberapa ciri dan cara orang Bali dalam kehidupan sosial dan Budayanya
sebagai berikut:
Jatakarma
Samskara (Upacara Kelahiran). Berbagai persiapan harus dilakukan untuk
menyambut kelahiran seorang bayi, bahkan persiapan dimulai dari jauh waktu
sejak bayi masih dalam kandungan ibu. Serangkaian larangan bagi ibu yang sedang
hamil misalnya: tidak boleh memakan makanan berasal dari hewan; tidak
diperbolehkan memakan daging kerbau atau babi; jangan melihat darah atau orang
yang terluka; tidak boleh melihat orang yang meninggal; dianjurkan untuk diam
di rumah dengan upacara penyucian agar kelahiran bayi nantinya berjalan normal.
Bapak
dari sang bayi harus dapat menghadiri kelahiran sang bayi dan menemani sang
istri. Ketika sang bayi lahir, dulu, saat bayi lahir, sang bapak lah yang harus
memotong ari-arinya dengan menggunakan pisau bambu. Ari-ari itu lalu disimpan
dan nanti harus dilingkarkan di leher sang bayi. Pada hari ke-21
setelah kelahiran, sang bayi akan dipakaikan pakaian, seperti; gelang dari
perak atau emas sesuai dengan kemampuan dan adat yang ada.
“Ritual
Potong Gigi” Foto oleh Abdes
Prestaka
Mepandes (Upacara
Potong Gigi). Upacara pada masa transisi dari anak-anak menuju masa
selanjutnya yang dijalankan oleh masyarakat Bali adalah upacara potong
gigi atau mepandes, yaitu mengikir dan meratakan gigi bagian atas yang
berbentuk taring. Tujuannya adalah untuk mengurangi sifat jahat atau buruk (sad
ripu). Mepandes dilaksanakan oleh seorang sanggingsebagai pelaksana
langsung dengan ditemani seorang Pandita (Pinandita).
Pawiwahan (Upacara
Perkawinan). Upacara transisi lainnya adalah pernikahan atau Pawiwahan.Pawiwahan bagi
orang Bali adalah persaksian di hadapan Sang Hyang Widi dan juga
kepada masyarakat bahwa kedua orang yang yang akan menikah (mempelai) telah
mengikatkan diri sebagai suami-istri.
Dalam
pelaksanaan pernikahan ini, akan terlebih dahulu dipilih hari yang baik, sesuai
dengan persyaratannya, ala-ayuning. Orang bali punya cara sendiri dalam
menghitung hari dan tanggal baik sesuai dengan pertanggalan mereka, umumnya
hari dan waktu yang baik ini dihitung oleh seorang ahli yang sangat mengerti
perhitungan waktu dalam sistem penanggalan Bali. Hampir semua masyarakat masih
mengenal sistem penanggalan Bali karena mereka dalam kesehariannya masih
menggunakan kalender Bali.
Tempat
melaksanakan pernikahan dapat dilakukan di rumah mempelai perempuan atau
laik-laki sesuai dengan hukum adat setempat–desa, kala, patra)–yang Pelaksanaannya
dipimpin oleh seorang Pendeta (Pinandita), Wasi dan atau Pemangku.
Ngaben (Upacara
Kematian). Ngaben adalah upacara kematian pada masayarakat Bali yang dilakukan
dengan cara kremasi. Ngaben merupakan rangkaian akhir dari roda kehidupan
manusia di Bumi. Menurut ajaran Hindu, roh itu bersifat immortal (abadi),
setelah bersemayam dalam jasad manusia, ketika manusia tersebut dinyatakan
meninggal, roh akan be-reinkarnasi. Tapi sebelumnya, roh terlebih dahulu akan
melewati sebuah fase di nirwana untuk disucikan; sesuai dengan catatan
kehidupan selama di bumi (karma). Ngaben merupakan proses penyucian
roh dari dosa-dosa yang telah lalu.
Oleh
karena itu, orang Bali tidak menganggap kematian sebagai akhir dari segalanya,
kematian merupakan bagian dari fase kehidupan yang baru. Seperti yang tercantum
dalam Bhagavadgita,“akhir dari keidupan adalah kematian dan awal dari kematian
adalah kehidupan”.
SUMBER :